"You eatlah. Masak dari tadi tidak eat. Kamu must eat sekarang!" (seseorang bicara pada anaknya).
Bolehkah anak saya yang masih kecil belajar Bahasa Inggris atau Bahasa Mandarin? Demikian pertanyaan banyak orang. Tentu jawabannya adalah, "Boleh," karena banyak penelitian menunjukkan bahwa pemerolehan banyak bahasa di usia muda itu memungkinkan dan baik. Tapi hati-hati! Metode yang salah dalam mengajarkan bahasa dapat merugikan anak Anda.
Saya kadang mendengar ada orang tua yang mengacaukan pemerolehan bahasa pertama anak dengan menggunakan bahasa gado-gado. Ramirez dkk, melalui penelitian yang di bawah nanti saya kutip, menemukan ternyata anak-anak kita kesulitan belajar di masa depan jika bahasa pertamanya tidak dikuasai dengan baik.
"You eatlah. Masak dari tadi tidak eat-eat?" adalah contoh dari "kekacauan" itu. Ada dua bahasa di dalam satu kalimat. Itu bukan bilingual, melainkan bahasa gado-gado, penggunaan Bahasa Inggrisnya tidak bagus, Bahasa Indonesianya pun tidak bagus.
Sebagai orang tua, sebelum mengajarkan bahasa kedua atau L2 (language number two), harus memastikan penguasaan bahasa pertama atau L1 (first language). Mari kita simak paparan berikut ini tentang bahasa pertama dan bahasa kedua.
Bahasa Ibu atau native language atau disebut juga mother tongue pada dasarnya adalah bahasa yang kita gunakan sehari-hari dan kita gunakan secara "begitu saja". Misalnya, ketika Anda ditanya, "Berapakah lima dibagi dengan dua?" dan saat Anda berpikir untuk menjawab, maka di benak Anda itu Anda menggunakan bahasa ibu Anda. Jika Anda berpikir "lima" dibagi dengan "dua" dan hasilnya adalah "dua setengah", maka bahasa ibu Anda adalah Bahasa Indonesia. Sedangkan, jika dalam benak Anda menggunakan bahasa lain, maka bahasa ibu Anda adalah bahasa selain Bahasa Indonesia tersebut.
Jika anak yang baru mulai sekolah (misalnya SD kelas 1 atau kelas 2) dipaksa menggunakan Bahasa Inggris untuk berpikir sementara bahasa pertamanya adalah Bahasa Indonesia belum dikuasai dengan baik, maka penelitian membuktikan bahwa anak tersebut akan mengalami kesulitan berpikir saat memasuki usia yang lebih dewasa nantinya. Literasi bahasa dan numerik terbukti lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak dengan kemampuan bahasa ibu yang baik. Berikut ini beberapa penelitian yang dapat kita simak.
Dahm dan De Angelis (2017) membuktikan melalui sebuah penelitian bahwa penguasaan bahasa Ibu sangat menentukan literasi bahasa dan literasi numerik siswa. Bob Tomblin juga menerangkan bahwa penguasaan bahasa ibu sangat penting untuk meningkatkan keterampilan esensial seperti berpikir kritis dan literasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Naja Ferjan RamÃrez, Amy M. Lieberman, and Rachel I. Mayberry (2013) menunjukkan bahwa saat seseorang menjadi dewasa dan kesulitan dalam belajar bahasa, bisa jadi hal itu merupakan dampak dari kesalahan di usia-usia awal saat ia tidak menguasai bahasa pertamanya (L1 atau Language 1).
Menguasai sebuah bahasa ditunjukkan dengan bagaimana secara lisan dan tulisan ia menggunakannya dengan baik, runtut, dan komunikatif.
Jadi, saat anak-anak kita belajar bahasa asing yang diharapkan menjadi L1 baginya, kita perlu berbicara menggunakan bahasa tersebut secara intens dan benar juga. Sebagai orangtua kita boleh mengajak anak berbicara dengan bahasa kedua bahkan bahasa ketiga, tapi dengan sepenuhnya menggunakan kalimat yang baik dalam satu deret kalimat atau paragraf, misalnya bahasa Indonesia saja atau bahasa Inggris saja dalam satu kalimat atau ungkapan. Contohnya, "Ayo makan sekarang!" lalu lanjutkan, "I said, you must eat now!" Jadi, tidak gado-gado bahasanya. Bisa juga ditambahkan dengan bahasa ketiga, "Lha ngono lho, aku seneng nak maemu akeh ngono kuwi!"
Penulis: Sigit Setyawan
Picture: pixabay.com