Mengapa anak gagal dalam pelajaran dapat dijawab melalui serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Thorndike di sekitar tahun 1930 yang masih relevan di era internet saat ini.
Pertama, karena anak tidak merasa memiliki. Thorndike menyebutnya sebagai belongingness. Jika anak merasa tidak butuh dengan pelajarannya, tidak mau ikut, atau merasa tidak ada koneksi antara apa yang dipelajari dengan kebutuhan dirinya, maka anak akan gagal dalam belajar. Demikian pula orang dewasa, jika dipaksa melakukan sesuatu yang menurutnya tidak dibutuhkan, maka akan sia-sia saja pelatihan yang diberikan kepadanya.
Kesalahan para orang tua dan guru adalah memaksa anak dalam belajar, ikut les, atau kursus-kursus. Padahal, si anak tidak mau. Dari penelitian yang dilakukan pada waktu itu, tidak adanya rasa "butuh" itu membuat tidak adanya koneksi antara pelajaran yang diberikan dengan anak atau peserta didik, maka pelajaran akan gagal.
Kedua, karena anak tidak siap. Thorndike meyebutnya sebagai law of readiness atau hukum kesiapan. Ini sangat mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Piaget tentang langkah pertama dalam pembelajaran adalah siap untuk belajar. Ada banyak hal yang perlu disiapkan agar anak (atau bahkan diri kita) siap dalam belajar, antara lain siap mental, siap nalar, siap fisik, dan siap sarana prasarana.
Kesiapan mental tergantung dari diri masing-masing, apakah memang tahu kapan dan untuk apa ada di dalam sebuah kelas. Kesiapan nalar tergantung dari pengetahuan prasyarat yang dimiliki, tergantung pula dari apakah guru memberikan materi yang sesuai dengan usianya. Siap fisik tergantung dari apakah kondisi sedang sehat ataukah sakit. Juga, apakah kita memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan agar saat belajar itu nyaman rasanya.
Ketiga, karena anak tidak mendapat efek apa-apa setelah belajar. Thorndike menyebutnya sebagai law of effect. Kalau setelah belajar anak tidak mendapatkan sesuatu yang berarti, misalnya pengetahuan, keterampilan, atau pujian, maka anak tidak mau belajar. Bukan hanya anak-anak, orang dewasa pun demikian. Kita sering mengalami betapa malasnya mengikuti seminar atau pelatihan karena tidak ada efek apapun setelah seminar atau pelatihan itu dilaksanakan.
Thorndike menemukan bahwa ternyata "hukuman" tidak efektif membuat peserta didik itu mau belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Dalam revisinya terhadap teorinya pasca 1930an itu, Thorndike mengatakan bahwa efek hukuman ternyata tidak meningkatkan semangat belajar. Lalu apa yang meningkatkan semangat belajar? Yang meningkatkan semangat belajar adalah "pujian" atau reward atau disebut juga sebagai penguatan positif. Jadi, jika seseorang itu mencapai tingkat pembelajaran tertentu "hadiahnya" apa itulah yang ternyata memberikan efek baik terhadap sikap belajar. Nah, itu yang dicari oleh setiap orang pada saat mengikuti pelajaran atau pelatihan, nanti dapat apa setelah pelatihan.
Jadi, kita sebagai orang tua, guru, atau pemimpin lembaga, pada saat meminta seseorang untuk ikut dalam pelajaran, seminar, atau pelatihan, perlu untuk memperhatikan riset Thorndike tersebut. Belongingness, law of readiness, dan law of effect menjadi tiga kata kunci yang dapat kita gunakan agar setiap peserta didik berhasil dalam pembelajarannya. Ketiga hal itu pula yang menjadikan peserta didik mengalami kegagalan, setidak-tidaknya menurut riset Thorndike. (Sigit Setyawan, M.Pd.)
Picture: pixabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar