Selasa, 22 Juni 2021

Mengapa Anak Gagal dalam Pelajaran? Ini Jawabannya!



Mengapa anak gagal dalam pelajaran dapat dijawab melalui serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Thorndike di sekitar tahun 1930 yang masih relevan di era internet saat ini.

Pertama, karena anak tidak merasa memiliki. Thorndike menyebutnya sebagai belongingness. Jika anak merasa tidak butuh dengan pelajarannya, tidak mau ikut, atau merasa tidak ada koneksi antara apa yang dipelajari dengan kebutuhan dirinya, maka anak akan gagal dalam belajar. Demikian pula orang dewasa, jika dipaksa melakukan sesuatu yang menurutnya tidak dibutuhkan, maka akan sia-sia saja pelatihan yang diberikan kepadanya.

Kesalahan para orang tua dan guru adalah memaksa anak dalam belajar, ikut les, atau kursus-kursus. Padahal, si anak tidak mau. Dari penelitian yang dilakukan pada waktu itu, tidak adanya rasa "butuh" itu membuat tidak adanya koneksi antara pelajaran yang diberikan dengan anak atau peserta didik, maka pelajaran akan gagal.

Kedua, karena anak tidak siap. Thorndike meyebutnya sebagai law of readiness atau hukum kesiapan. Ini sangat mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Piaget tentang langkah pertama dalam pembelajaran adalah siap untuk belajar. Ada banyak hal yang perlu disiapkan agar anak (atau bahkan diri kita) siap dalam belajar, antara lain siap mental, siap nalar, siap fisik, dan siap sarana prasarana.

Kesiapan mental tergantung dari diri masing-masing, apakah memang tahu kapan dan untuk apa ada di dalam sebuah kelas. Kesiapan nalar tergantung dari pengetahuan prasyarat yang dimiliki, tergantung pula dari apakah guru memberikan materi yang sesuai dengan usianya. Siap fisik tergantung dari apakah kondisi sedang sehat ataukah sakit. Juga, apakah kita memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan agar saat belajar itu nyaman rasanya.

Ketiga, karena anak tidak mendapat efek apa-apa setelah belajar. Thorndike menyebutnya sebagai law of effect. Kalau setelah belajar anak tidak mendapatkan sesuatu yang berarti, misalnya pengetahuan, keterampilan, atau pujian, maka anak tidak mau belajar. Bukan hanya anak-anak, orang dewasa pun demikian. Kita sering mengalami betapa malasnya mengikuti seminar atau pelatihan karena tidak ada efek apapun setelah seminar atau pelatihan itu dilaksanakan.

Thorndike menemukan bahwa ternyata "hukuman" tidak efektif membuat peserta didik itu mau belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Dalam revisinya terhadap teorinya pasca 1930an itu, Thorndike mengatakan bahwa efek hukuman ternyata tidak meningkatkan semangat belajar. Lalu apa yang meningkatkan semangat belajar? Yang meningkatkan semangat belajar adalah "pujian" atau reward atau disebut juga sebagai penguatan positif. Jadi, jika seseorang itu mencapai tingkat pembelajaran tertentu "hadiahnya" apa itulah yang ternyata memberikan efek baik terhadap sikap belajar. Nah, itu yang dicari oleh setiap orang pada saat mengikuti pelajaran atau pelatihan, nanti dapat apa setelah pelatihan.

Jadi, kita sebagai orang tua, guru, atau pemimpin lembaga, pada saat meminta seseorang untuk ikut dalam pelajaran, seminar, atau pelatihan, perlu untuk memperhatikan riset Thorndike tersebut. Belongingness, law of readiness, dan law of effect menjadi tiga kata kunci yang dapat kita gunakan agar setiap peserta didik berhasil dalam pembelajarannya. Ketiga hal itu pula yang menjadikan peserta didik mengalami kegagalan, setidak-tidaknya menurut riset Thorndike. (Sigit Setyawan, M.Pd.)

Picture: pixabay.com

Minggu, 13 Juni 2021

Melatih Kemandirian Belajar Anak



Di masa pandemi Covid-19, anak-anak kita harus belajar secara online, jarak jauh, atau tatap muka tetapi sangat terbatas. Sebagai orang tua, kita tidak selalu dapat mendampingi mereka secara penuh. Sementara itu, para guru juga tidak dapat mendampingi penuh seperti ketika di dalam kelas.

Dulu, sebelum masa pandemi, para orang tua mengantar anak ke sekolah, lalu selama hampir sehari penuh berada di sekolah bersama dengan guru dan teman-teman. Namun, ketika belajar dari rumah anak-anak kita terpaksa harus berproses sendiri. Sayangnya, tidak semua anak siap dengan kemandirian belajar, motivasi, atau keterampilan belajar.

Kemandirian anak tidak bisa muncul tiba-tiba atau orang tua menuntut anak untuk mandiri. Kemandirian perlu dilatih setahap demi setahap. Mula-mula orang tua membantu penuh, lalu mendampingi, kemudian mengawasi. Setelah itu, orang tua hanya perlu mengecek secara berkala. Oleh Vygotsky, hal itu disebut sebagai "scaffolding" yaitu tahapan bantuan orang dewasa. Layaknya sebuah bangunan, scaffolding itu menjadi penopang kemudian jika sudah siap penopang tersebut dilepas pelan-pelan.

Berikut ini adalah beberapa contoh kemandirian anak setahap demi setahap.

a. Usia Taman Kanak-Kanak

Di bangku Taman Kanak-Kanak yang dimaksud dengan kemandirian belajar adalah tentang sikap dan keterampilan dasar. Misalnya membereskan mainan, merapikan kamar atau tempat bermain, membersihkan kotoran akibat dari kegiatannya di rumah. Dalam kegiatan pembelajaran, tentu saja keterlibatan orang tua sangat penting. Para guru TK mungkin memberikan berbagai aktivitas yang dikomunikasikan kepada orang tua. Orang tua adalah "guru" yang menjadi mentor bagi anak-anak di rumah. Namun, hanya sebatas membantu dan menemani saat beraktivitas dan melaporkan kepada guru. Sementara itu, yang mendesain pembelajaran, mempersiapkan, menyampaikan, dan mengevaluasi hasil belajar tetaplah para guru.

b. Usia Sekolah Dasar 1-3 (7 - 10 tahun)

Pada saat anak di bangku SD kelas 1, yang dimaksud dengan kemandirian adalah kesadaran anak-anak untuk mempersiapkan buku-buku pelajaran. Orang tua perlu mengajak anak-anak untuk mempersiapkan buku apa saja yang dibutuhkan esok hari. Tentu saja pada awalnya orang tua yang memililh dan memasukkan buku-buku, alat tulis, dan lainnya yang dibutuhkan ke dalam tas. Namun, pelan-pelan anak perlu menata sendiri di dalam tas. Dan saat sudah membaca dengan lancar, anak-anak ditemani untuk memasukkan buku ke dalam tas. Memasuki semester kedua di kelas satu, anak-anak perlu diberi tugas untuk mempersiapkan buku pelajaran dan orang tua mengecek apakah sudah benar atau belum.

Di kelas dua, orang tua perlu memberikan jadwal belajar. Belajar diartikan sebagai membaca buku pelajaran atau mengerjakan PR. Namun, saat tidak ada PR atau tugas, orang tua dapat memberikan bacaan seperti novel atau cerita pendek, atau memberi soal matematika sederhana.

Di kelas tiga, orang tua perlu mengajak anak untuk mempertahankan kebiasaan belajar. Kebiasaan dan cara belajar anak mulai terbentuk. Setiap anak akan memiliki gaya belajarnya sendiri-sendiri. Misalnya, anak kinestetik akan cenderung berjalan-jalan, bergerak, ke sana ke mari sambil belajar. Anak musikal akan sambil bernyanyi, bahkan menyanyikan apa yang dia baca. Anak yang interpersonalnya kuat, akan cenderung memilih tempat sepi dalam belajar, dan sebagainya.

c. Usia Sekolah Dasar 4-6 (10 - 13 tahun)

Memasuki usia pra remaja, anak-anak perlu diajak untuk membuat jadwal belajar dan kegiatan. Persetujuan orang tua dibutuhkan, tetapi anak perlu berproses bersama untuk membuat jadwal itu. Orang tua perlu sering mengecek, memastikan, dan mengingatkan berulang-ulang atau disebut sebagai proses mentoring belajar. 

Pada saat jam belajar, orang tua perlu bertanya kepada anak misalnya, "Coba ceritakan ke mama, tadi kamu belajar apa?" dan pada saat ia menjelaskan, ia memperkuat apa yang dipelajarinya itu.

d. Usia SMP

Memasuki SMP, anak-anak sudah masuk ke usia remaja. Jika di SD proses pembuatan jadwal belajar ditentukan bersama orang tua, kini anak-anak diminta untuk menyerahkan proposal jadwal belajarnya kepada orang tua. Orang tua menjadi orang yang menyetujui dan memberi masukan perbaikan jadwal jika dirasakan kurang tepat. Misalnya:

Kapan belajar?

Kapan main game?

Kapan nonton youtube?

Semua masuk ke dalam "proposal jadwal" anak remaja kita kepada orang tua. Orang tua perlu mengecek apakah dilaksanakan atau tidak. Jika tidak dilakukan, orang tua perlu untuk berdiskusi memperbaiki jadwal dan sepakat akan konsekuensi jika terjadi pelanggaran disengaja oleh anak.

e. Usia SMA

Memasuki usia SMA tentu saja kemandirian dalam belajar bukan menjadi masalah serius untuk pada umumnya anak. Namun, di usia ini orang tua perlu mengecek secara berkala, misalnya, "Kamu ada tes? Udah belajar?"

Tentu saja, jika sejak SD kelas 1 sudah terbiasa dengan jadwal belajar, pada usia SMA orang tua sudah tidak perlu lagi meminta anak untuk membuat jadwal. Semestinya, anak otomatis merasa membutuhkan jadwal. Jika tidak membuat jadwa, orang tua dapat memintanya, "Kamu jadwal belajar jam berapa aja?"

Nah, demikianlah, kemandirian dalam belajar itu perlu dibangun sejak dini. Nantinya saat anak-anak memasuki dunia universitas, kemandirian dan tanggung jawab itu telah terbangun secara lebih kokoh. Bandingkan dengan jika sejak kecil apa-apa dikerjakan oleh orang tua. Bahkan, misalnya, sampai di SMA pun orang tua masih banyak ikut campur. Artinya, scaffolding menurut Vygotsky di atas tidak pernah dilepas. Saat anak kita memasuki universitas, tiba-tiba saja penopang itu hilang dan kebiasaan dibantu itu akan membuat kemampuan belajarnya runtuh.

(Sigit Setyawan).

Sumber gambar: pixabay.com

Selasa, 01 Juni 2021

Contoh Rubrik Penilaian

 


Para guru mungkin sering kesulitan membuat dan menentukan rubrik penilaian yang sesuai dengan kebutuhan penilaian yang tepat. Beberapa website memudahkan kita untuk memahami apa itu rubrik, manfaat, dan bahkan cara pembuatannya. Misalnya link berikut ini https://binus.ac.id/knowledge/2019/12/rubric-assessment-manfaatnya-dalam-proses-penilaian/ yang sangat membantu kita. Namun demikian, bagi beberapa guru mungkin perlu contoh yang benar-benar dapat langsung digunakan.

Berikut ini adalah tiga contoh rubrik penilaian yang dapat digunakan oleh para guru.

Contoh dalam bentuk PDF

Dalam contoh tersebut ada tiga model Rubrik Penilaian yang dapat digunakan oleh para guru. Yang terpenting dalam penggunaan rubrik adalah

1. Siswa mengetahui terlebih dahulu apa saja yang akan dinilai oleh guru pada saat mengerjakan tugas.

2. Setelah selesai penilaian, guru membagikan nilai kepada siswa dan menjelaskan mengapa nilai siswa adalah seperti yang didapatkan.

Melalui rubrik penilaian, para siswa dapat mengetahui dengan jelas apa yang perlu ditingkatkan dan apa yang sudah dikuasainya dengan baik.


Gambar diambil dari Pixabay.com

Sabtu, 29 Mei 2021

Pentingnya "Bahasa Ibu"



"You eatlah. Masak dari tadi tidak eat. Kamu must eat sekarang!"  (seseorang bicara pada anaknya).

Bolehkah anak saya yang masih kecil belajar Bahasa Inggris atau Bahasa Mandarin? Demikian pertanyaan banyak orang. Tentu jawabannya adalah, "Boleh," karena banyak penelitian menunjukkan bahwa pemerolehan banyak bahasa di usia muda itu memungkinkan dan baik. Tapi hati-hati! Metode yang salah dalam mengajarkan bahasa dapat merugikan anak Anda.

Saya kadang mendengar ada orang tua yang mengacaukan pemerolehan bahasa pertama anak dengan menggunakan bahasa gado-gado. Ramirez dkk, melalui penelitian yang di bawah nanti saya kutip, menemukan ternyata anak-anak kita kesulitan belajar di masa depan jika bahasa pertamanya tidak dikuasai dengan baik. 

"You eatlah. Masak dari tadi tidak eat-eat?" adalah contoh dari "kekacauan" itu. Ada dua bahasa di dalam satu kalimat. Itu bukan bilingual, melainkan bahasa gado-gado, penggunaan Bahasa Inggrisnya tidak bagus, Bahasa Indonesianya pun tidak bagus.

Sebagai orang tua, sebelum mengajarkan bahasa kedua atau L2 (language number two), harus memastikan penguasaan bahasa pertama atau L1 (first language). Mari kita simak paparan berikut ini tentang bahasa pertama dan bahasa kedua.

Bahasa Ibu atau native language atau disebut juga mother tongue  pada dasarnya adalah bahasa yang kita gunakan sehari-hari dan kita gunakan secara "begitu saja". Misalnya, ketika Anda ditanya, "Berapakah lima dibagi dengan dua?" dan saat Anda berpikir untuk menjawab, maka di benak Anda itu Anda menggunakan bahasa ibu Anda. Jika Anda berpikir "lima" dibagi dengan "dua" dan hasilnya adalah "dua setengah", maka bahasa ibu Anda adalah Bahasa Indonesia. Sedangkan, jika dalam benak Anda menggunakan bahasa lain, maka bahasa ibu Anda adalah bahasa selain Bahasa Indonesia tersebut. 

Jika anak yang baru mulai sekolah (misalnya SD kelas 1 atau kelas 2) dipaksa menggunakan Bahasa Inggris untuk berpikir sementara bahasa pertamanya adalah Bahasa Indonesia belum dikuasai dengan baik, maka penelitian membuktikan bahwa anak tersebut akan mengalami kesulitan berpikir saat memasuki usia yang lebih dewasa nantinya. Literasi bahasa dan numerik terbukti lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak dengan kemampuan bahasa ibu yang baik. Berikut ini beberapa penelitian yang dapat kita simak.

Dahm dan De Angelis (2017) membuktikan melalui sebuah penelitian bahwa penguasaan bahasa Ibu sangat menentukan literasi bahasa dan literasi numerik siswa. Bob Tomblin juga menerangkan bahwa penguasaan bahasa ibu sangat penting untuk meningkatkan keterampilan esensial seperti berpikir kritis dan literasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Naja Ferjan Ramírez, Amy M. Lieberman, and Rachel I. Mayberry (2013) menunjukkan bahwa saat seseorang menjadi dewasa dan kesulitan dalam belajar bahasa, bisa jadi hal itu merupakan dampak dari kesalahan di usia-usia awal saat ia tidak menguasai bahasa pertamanya (L1 atau Language 1).

Menguasai sebuah bahasa ditunjukkan dengan bagaimana secara lisan dan tulisan ia menggunakannya dengan baik, runtut, dan komunikatif.

Jadi, saat anak-anak kita belajar bahasa asing yang diharapkan menjadi L1 baginya, kita perlu berbicara menggunakan bahasa tersebut secara intens dan benar juga. Sebagai orangtua kita boleh mengajak anak berbicara dengan bahasa kedua bahkan bahasa ketiga, tapi dengan sepenuhnya menggunakan kalimat yang baik dalam satu deret kalimat atau paragraf, misalnya bahasa Indonesia saja atau bahasa Inggris saja dalam satu kalimat atau ungkapan. Contohnya, "Ayo makan sekarang!" lalu lanjutkan, "I said, you must eat now!" Jadi, tidak gado-gado bahasanya. Bisa juga ditambahkan dengan bahasa ketiga, "Lha ngono lho, aku seneng nak maemu akeh ngono kuwi!"

Penulis: Sigit Setyawan

Picture: pixabay.com

Rabu, 26 Mei 2021

Kumpulan Metode Pembelajaran Online, PJJ Offline, dan Tatap Muka



Berikut ini adalah kumpulan metode-metode mengajar online, pembelajaran jarak jauh offline, dan pembelajaran tatap muka.

A. Metode-Metode Pembelajaran Online

1. Game Bersama Guru

    a. Tebak Gambar: Guru menyembunyikan gambar/bagan lalu memberikan petunjuk. Siswa menebak secara bergantian. Dapat pula siswa menggambar dan siswa lain menebak secara bergantian.

    b. Teka-teki layar. Guru menayangkan teka-teki di layar, siswa menjawab bergantian atau melalui chat.

    c. Kategori kata. Guru meminta siswa menulis kata, lalu memberikan petunjuk. Siswa lain menebak langsung bergantian atau menulis jawaban di chat.

    d. Treasure Hunt.. Guru memberi teka-teki benda di rumah. Lalu guru memberikan waktu lima menit bagi siswa untuk menunjukkan barang-barang yang dimaksud di layar.

2. Game Online menggunakan kahoot, quiziz, atau quizlet

3. Tanya-Jawab dan Wawancara. Guru melakukan tanya-jawab atau wawancara dengan siswa tentang topik yang dibahas.

4. Online Group Sharing atau Diskusi. Para siswa berkumpul secara online untuk melakukan sharing. Setelah selesai, siswa melaporkan hasil sharing/diskusi kepada guru.

5. Video Explainer diikuti dengan mengerjakan tugas atau membuat laporan. Guru menugaskan siswa menyimak video explainer dan diikuti dengan pemberian tugas.


B. Metode-Metode Pembelajaran Jarak Jauh Offline

1. Modul Belajar. Guru menyediakan modul belajar yang terdiri dari topik, tujuan pembelajaran, materi belajar, tugas-tugas disertai rubrik penilaiannya, langkah-langkah mengerjakan tugas, dan penilaian.

2. Proyek/ Aktivitas. Siswa membuat proyek yang dikumpulkan kepada guru, misalnya prakarya, peta, dsb. Guru memberikan komentar dan nilai kepada siswa.

3. Karya Tulis Ilmiah. Siswa membuat karya tulis ilmiah dan dikirimkan ke guru untuk dinilai. Guru memberikan umpan balik perbaikan, lalu siswa mengirim perbaikannya.

4. Resensi Buku. Siswa meresensi buku dan resensi dikirimkan ke sekolah untuk dinilai. Umpan balik dikirimkan kembali ke siswa.

5. Tugas-Tugas. Siswa mengerjakan tugas di buku teks, lalu jawaban dikirimkan ke sekolah. Guru memberikan umpan balik berupa nilai dan komentar, lalu hasilnya dikembalikan lagi kepada siswa. Siswa mengirimkan perbaikan.


C. Metode-Metode Pembelajaran Tatap Muka

1. Ceramah atau lecturing. Menyampaikan informasi dari guru kepada siswa

2. Pembicara Tamu. Mengundang pembicara tamu  misalnya alumni, orang tua, siswa dari kelas lain, dokter, atau ahli, dsb.

3. Sharing Board / Sharing Table. Guru dan siswa memakai board atau table untuk bertukar informasi dan jawaban-jawaban. Informasi ditempel di papan atau meja tertentu. 

4. Story on the Board. Guru dan siswa menempelkan cerita/permasalahan di papan yang besar. Guru dan siswa lain menempelkan lanjutan cerita/jawaban atas permasalahan. Demikian seterusnya dalam sebuah alur yang sudah ditentukan di papan. Ciri dari Story on the Board adalah urutannya yang kronologis.

5. Game. kegiatan bermain sambil belajar atau kegiatan belajar sambil bermain

6. Diskusi. Proses tukar pikiran antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa lainnya

7. Presentasi. Siswa atau sekelompok siswa memaparkan atau mendeskripsikan hasil riset, kegiatan belajar, kegiatan kelompok, dsb. 

8. Debat. Siswa mempertahankan pendapatnya agar orang lain menganggap bahwa pendapatnya adalah benar

9. Musyawarah. Proses pengambilan keputusan melalui  perundingan untuk mencapai konsensus atau kata sepakat(mufakat)

10. One on one. Pendekatan bimbingan pribadi guru kepada seorang siswa

11. Bimbingan kelompok. Guru berkeliling untuk membantu kelompok

12. Pameran. Menonton atau memamerkan berbagai ragam hasil studi (riset) atau tugas terstruktur yang telah diberikan oleh guru

13. Alih teks. Siswa menuangkan pemahaman / informasi dalam bentuk tertentu (misalnya majalah dinding, komik, dsb.)

14. Jigsaw. Siswa berkumpul dalam kelompok. Tiap kelompok menguasai satu materi atau keahlian yang akan dibagikan dengan kelompok lain.

15. Role play. Melibatkan siswa dalam situasi yang seolah-olah terjadi seperti dalam dunia nyata.


Picture: pixabay.com 


Selasa, 25 Mei 2021

Para Guru, Bersiaplah Untuk Gen C

 



Dunia pendidikan harus bersiap dengan munculnya Gen C, Generasi baru yang mengalami pengalaman belajar yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Pandemi Covid-19 membuat dunia mengalami pengalaman luar biasa dan mengubah total cara belajar siswa dan cara mengajar para guru. Pembelajaran online dan blended learning menjadi kebiasaan baru, bahkan telah mulai menjadi cara hidup.

Ada yang menandai Gen C ini sebagai mereka yang lahir tahun 2016, tapi sebenarnya lebih tepat jika Gen C adalah mereka yang mengalami pembelajaran di era pandemi Covid-19, yaitu mereka yang masuk kelas pertama kali di tahun 2020, yaitu yang lahir pada tahun 2013-2014.

Siswa yang masuk ke kelas satu SD pada tahun 2020 adalah Gen C sesungguhnya. Mereka memulai pembelajaran di institusi yang disebut sebagai "sekolah" secara online. Mereka tidak datang ke sekolah, tidak bermain bersama teman di lapangan sekolah atau di kelas, dan tidak berinteraksi langsung dengan guru-guru. Dapat dikatakan,  Gen C ini berciri khas (1) mengenal teman baru dan guru secara online di layar laptop atau gawai, (2) mengunjungi sekolah hanya beberapa kali saja dalam setahun, (3)  sejak awal mereka mengenal bahwa cara mereka belajar adalah online menggunakan laptop atau gawai, (4) internet adalah bagian dari proses pembelajaran.

Bagi anak-anak ini, pembelajaran tatap muka adalah sebuah disrupsi pembelajaran. Para guru harus bijak menyikapinya jika akan bertatap muka dengan mereka.

Hal itu berbeda dengan siswa SMP dan SMA yang telah terbiasa pembelajaran tatap muka sebelumnya, yaitu sejak mereka duduk di bangku kelas 1 SD, dan mereka telah mengenal teman-teman secara langsung sebelum masa pendemi. Pada saat diadakan sekolah tatap muka, mereka beradaptasi kembali ke kebiasaan lama mereka. Namun demikian, setiap sekolah perlu memperhatikan interaksi sosial bagi siswa yang belum mengenal teman-teman dan gurunya secara tatap muka karena pindah dari sekolah lain.

Akankah Sekolah "Mundur" ke Masa Lalu?

Setelah pandemi Covid-19 berlalu, akankah sekolah kembali ke masa lalu? Apakah sekolah akan melupakan pembelajaran online atau blended learning? Itulah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap sekolah. Pada kenyataannya, new normal atau kenormalan baru adalah bahwa siswa dan guru saat ini justru semakin terbiasa dengan internet dan berbagai platform belajarnya. Kembali ke masa lalu adalah pilihan buruk bagi sekolah, karena cara belajar siswa sudah berubah, pola interaksi pun telah berubah. 

Ke depan, blended learning yaitu metode belajar yang menggabungkan antara yang tatap muka, online, dan jarak jauh, adalah pilihan terbaik bagi setiap sekolah. Guru dan siswa perlu untuk tetap menggunakan teknologi informasi sebagai salah satu cara hidup. Menggunakan laptop atau smartphone bukan lagi sebuah gaya hidup, tetapi sebuah cara hidup. Bukan sebuah kemewahan, tetapi sebuah kebutuhan.

Jadi, tantangan para pendidik dan institusi sekolah saat ini adalah menyiapkan bagaimana menghadapi Gen C ini. Beberapa hal ini perlu kita pertimbangkan bersama.

1. Penggunaan internet untuk belajar yang diintegrasikan dengan metode belajar tatap muka perlu diperhatikan. Penggunaan Learning Management System atau e-learning adalah sebuah hal dasar yang menandai bahwa sekolah memang siap untuk generasi saat ini.

2. Jadwal belajar fleksibel adalah keniscayaan, yaitu tidak hadir di sekolah pun tidak akan menjadi masalah. Tidak perlu sepanjang hari berada di sekolah.

3. Kolaborasi dengan teman dan guru secara online adalah sebuah cara hidup yang biasa.

4. Belajar melalui video explainer adalah hal biasa.

5. Peraturan sekolah, prosedur-prosedur belajar, tata-tertib sekolah perlu memasukkan bagaimana siswa, guru, dan civitas akademika berinteraksi secara online di internet. 

6. Para guru yang notabene adalah generasi yang berbeda, perlu memastikan penguasaan teknologi informasi yang dibutuhkan. Mungkin, pelatihan-pelatihan yang intens memang sangat dibutuhkan oleh para guru.

7. Bertemu dengan orang baru secara langsung perlu latihan dan pembiasaan. Guru perlu mengajarkan kebiasaan-kebiasaan interaksi sosial di sekolah.

Jadi, sudah siapkan kita mengajar Gen C?

(Penulis: Sigit Setyawan, S.S., M.Pd.)

Picture: pixabay.com

Senin, 24 Mei 2021

Poster Metode Blended Learning

Gambar Metode-Metode Blended Learning

Blended learning adalah pembelajaran yang dilaksanakan secara campuran antara online, pembelajaran jarak jauh, dan tatap muka. Porsi dari tiga hal tersebut berbeda-beda antara satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Misalnya, ada yang online lebih banyak daripada tatap muka dan PJJ offline. Ada pula yang PJJ Offline porsinya lebih banyak, lalu tatap muka, dan kemudian online. 

Berikut ini saya "meracik" beberapa metode pembelajaran online, pembelajaran jarak jauh offline atau tanpa internet, dan pembelajaran tatap muka. Silakan digabungkan atau di- "blended", pilih yang terbaik yang dapat Anda lakukan bersama dengan para siswa, sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah masing-masing. Jika menginginkan file PDF, silakan unduh di link yang disediakan di bawah atau di sini.

Setelah Anda membaca gelembung yang ada di sana, silakan diberi tanda, mana saja yang dapat dilaksanakan di pembelajaran Anda. Kemudian sharingkan kepada rekan-rekan Anda. Poster yang ada ini boleh diunduh dan dijadikan sebagai bahan diskusi guru dalam mempersiapkan atau mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran blended learning.

Semoga dengan banyak referensi, Bapak dan Ibu guru di Indonesia semakin menjadi pahlawan yang menerangi generasi muda bangsa ini. 

Beberapa yang ditampilkan di poster antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pembelajaran online

#moodle, #microsoftteams, #googleclassroom, dan sebagainya masuk dalam kategori LMS atau Learning Management System.

#whatsapp, #telegram, #email, dan sebagainya masuk dalam kategori platform informasi.

#kahoot, #quizlet, #googleform, dan sebagainya masuk dalam kategori platform untuk membuat quiz atau tes

#facebook, #instragram, #tiktok, dan sebagainya masuk dalam kategori platform media sosial


2. Pembelajaran offline atau pembelajaran tanpa internet

Dalam pembelajaran tanpa internet, para guru dapat menggunakan beberapa hal, misalnya
#modulbelajar

#bukutekspelajaran

#testertulis

dan sebagainya, di mana para siswa dapat membuat di rumah, lalu mengantarkan tugasnya ke sekolah atau mengirimkannya melalui kurir atau pos.


3. Pembelajaran tatap muka

Dalam pembelajaran tatap muka sangat banyak hal yang dapat dilakukan. Di poster ini diberikan beberapa contohnya, yang terntu saja Bapak dan Ibu guru sekalian sudah sangat familiar dengan aktivitas yang ditampilkan di poster.

Berikut ini link untuk mengunduh poster dalam bentuk PDF

Poster Metode-Metode Blended Learning.pdf


Rabu, 12 Mei 2021

Metode-Metode Blended Learning



Pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh yang disatukan kita sebut dengan blended learning atau hybrid learning. Pembelajaran jarak jauh sendiri dapat dikategorikan dalam dua metode, yaitu metode online learning (pembelajaran dalam jaringan) dan metode jarak jauh tanpa internet (pembelajaran luar jaringan). Pembelajaran online menggunakan aplikasi telewicara online seperti zoom.us, google meet, messenger, dsb. Pembelajaran tanpa internet dapat menggunakan modul belajar, paket kegiatan, atau pengumpulan tugas-tugas.

Berikut ini adalah contoh-contoh metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran kombinasi antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online.


1. Online + Tatap Muka Beda Waktu

Sekolah dapat menyediakan jadwal pembelajaran online dan tatap muka langsung dalam waktu yang berbeda. Misalnya, pembelajaran tatap muka di pagi hari dan online di siang hari, atau sebaliknya.

Plus: Siswa mendapat kesempatan untuk tatap muka dan online.

Minus: Guru bekerja dua kali lebih keras karena menyiapkan dua macam pembelajaran.

Contoh

07.00 - 10.00 : Tatap Muka

11.00 - 15.00 : Online


2. Online + Tatap Muka Bersamaan

Pada saat siswa bertatap muka di dalam kelas, guru juga online secara bersamaan. Sehingga, siswa di kelas maupun di rumah dapat belajar pada saat bersamaan.

Plus: Guru hanya menyiapkan satu materi ajar.

Minus: Apabila ada permasalahan online, hanya siswa tatap muka yang terlayani. Sebaliknya, jika guru sakit dan mengajar dari rumah, siswa yang tatap muka tidak terlayani.


3. Online + Tatap Muka Sebagian

Pada umumnya pembelajaran dilaksanakan secara online, tetapi sekolah menyediakan opsi jadwal tatap muka terbatas di mana para siswa dapat hadir di kelas. Namun, siswa yang hadir tidak banyak dan digilir.

Plus: Guru menyiapkan materi tambahan, tetapi terbatas dan siswa yang hadir diutamakan yang memiliki permasalahan sarana dan prasarana.

Minus: Apabila guru berhalangan hadir saat siswa ada yang di sekolah, siswa di sekolah tidak terlayani dengan baik.

Contoh:

Kelas Tatap Muka: Senin dan Jumat, Pk. 13.00 - 15.00


4. E-learning + Luar Jaringan + Online (Dalam Jaringan) 

Ini adalah model konsultasi. Jadwal pelajaran terdiri dari jadwal pelajaran tatap muka dan online dalam waktu yang berbeda, tetapi materinya sama. Jadi, siswa dapat memilih apakah mereka akan menggunakan e-learning + luar jaringan, ataukah  e-learning + dalam jaringan.

(Penulis: Sigit Setyawan, M.Pd.)


Sabtu, 08 Mei 2021

Teknik Penilaian Pembelajaran Online



Penulis: Sigit Setyawan, M.Pd.

Penilaian online dan penilaian tatap muka memiliki teknik yang berbeda. Evaluasi dan pengukuran hasil belajar online memiliki ciri khas tertentu antara lain sebagai berikut.

1. Kolaboratif atau dapat bekerja sama dengan siapapun di internet.

2. Komunikatif atau dapat b erbicara atau berinteraksi dengan siapapun, misalnya teman, saudara, bahkan orangtua.

3. Resourceful atau dapat mengakses sumber dari internet secara tidak terbatas.

Oleh karena itu, meminta anak-anak untuk tidak bekerja sama, tidak berkomunikasi, atau tidak mengakses informasi di internet saat penilaian online sama saja dengan meminta mereka berenang, tetapi tidak boleh basah.

Seperti kita ketahui, prinsip dari penilaian adalah adanya reabilitas dan validitas. Untuk meningkatkan keduanya, para guru perlu menggunakan beberapa teknik pengukuran untuk mendapatkan reabilitas dan validitas nilai. 

Selain itu, tes atau penilaian yang dilakukan secara online tidak dapat digunakan untuk menilai informasi hafalan atau pengetahuan  atau LOTs (Lower Order Thinking Skills) karena semuanya itu sangat mudah didapatkan melalui internet. Namun, penilaian online dapat digunakan untuk menilai aspek penerapan terhadap informasi atau pengetahuan (aplikasi, evaluasi, atau membuat sesuatu) yang merupakan HOTs (Higher Order Thinking Skills) kerja sama,  

Berikut ini adalah beberapa teknik penilaian online yang dapat dikombinasikan atau dipadu padankan.


1. Pilihan Ganda Online, Benar-Salah Online, atau Mencocokkan Online

Menggunakan soal pilihan ganda menggunakan aplikasi seperti quizizz.com, quizlet.com, atau google form, memiliki reabilitas yang sangat rendah. Namun, guru dapat menggunakannya sebagai salah satu cara mengetahui pemahaman siswa mengenai topik-topik yang dipelajari. Jika para guru menggunakan pilihan gada online, guru perlu untuk memberi waktu terbatas pada setiap soal. 


2. Tes Tertulis Online

Tes tertulis online dapat digunakan oleh para guru dan cenderung memiliki reabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes pilihan ganda. Namun, syarat bagi tes tertulis online antara lain:

a. Diberikan durasi yang sama untuk setiap siswa;

b. Dilakukan secara bersamaan (serentak);

c. Menggunakan kriteria peniliaan yang jelas sebelum dilakukan tes.


3. Tes Lisan atau Wawancara Online

Tes lisan online dapat dilakukan oleh para guru untuk mengecek pemahaman. Dalam tes lisan ini, guru perlu mempersiapkan daftar pertanyaan dan kriteria nilainya. Sehingga, saat siswa menjawab pertanyaan secara langsung para guru dapat langsung memberikan skor.


4. Observasi Online

Guru dapat melakukan observasi secara online terhadap sikap belajar siswa. Tentu saja hal-hal yang diobservasi akan berbeda antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran online. Dalam pembelajaran online, sikap belajar siswa terlihat antara lain:

a. Bagaimana siswa menggunakan kamera (camera on) dan sound (kapan mute dan kapan unmute);

b. Bagiamana siswa aktif menjawab atau bertanya, dapat dihitung frekuensinya dan dapat diukur kualitas pertanyaannya;

c. Bagaimana siswa memberikan kontribusi saat diskusi dengan teman secara online.


5. Log (track record) Proyek Online

Siswa mengerjakan proyek yang dilakukan secara online, misalnya menggunakan google slides, padlet.com, dan sebagainya. Proyek online akan efektif apabila:

a. Ada kriteria penilaian yang jelas dan dipahami oleh siswa;

b. Ada tenggat waktu atau target pengumpulan tugas;

c. Ada log aktivitas siswa, yaitu untuk mengetahui siapa saja siswa yang berkontribusi.


Demikian lima contoh bagaimana guru dapat menilai proses dan pencapaian pembelajaran para siswa. Semakin banyak metode penilaian yang digunakan untuk mengukur, maka semakin tepat ukuran atau penilaian yang diberikan oleh guru.

Jumat, 07 Mei 2021

Langkah Mudah Menulis Artikel Konten



Mudah menulis artikel konten dalam 7 langkah berikut ini.

Untuk menulis artikel atau esai untuk konten, duduk di depan komputer atau sediakan secarik kertas dan mulailah menulis. Namun, petunjuk seperti itu hanya akan menolong sedikit orang. Banyak dari kita yang kesulitan untuk mulai menulis. Kebingungan kita adalah pada apa permasalahan yang dapat kita tulis. Berikut ini adalah beberapa tips berupa langkah-langkah yang dapat kita lakukan agar kita tidak berhenti “di tengah jalan” pada waktu menulis.

Langkah 1: Menentukan topik yang akan dibahas misalnya “tawuran di Jakarta”.

Langkah 2: Menentukan jumlah kata. Perlu ditegaskan di sini bahwa jumlah kata penting untuk membatasi pokok-pokok bahasan. Semakin banyak jumlah kata, semakin banyak pula pokok pikiran yang dapat ditulis. Misalnya saja kita tentukan esei sepanjang 350 kata.

Langkah 3: Menentukan fokus permasalahan “penyebab tawuran” , “akibat tawuran”, atau “langkah-langkah mencegah tawuran”. Misalnya, kita akan membahas permasalahan “penyebab tawuran”

Langkah 4: Gelembung gagasan. Kumpulkan gagasan Anda seperti Anda menangkap gagasan di udara.

Emosi remaja

Ingin dianggap jagoan

Energi remaja yang berlebihan

Masalahnya ada pada diri remaja

Lemahnya pengawasan sekolah

Nggak ada konsekuensi yang berat dari sekolah

Pendidikan moral di sekolah gagal

Masalahnya ada pada pihak sekolah

Orangtua nggak peduli

Masalahnya ada pada orangtua

Sentimen antar sekolah

Membolos hal biasa

Masalahnya ada pada persoalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Langkah 5: Membatasi pokok bahasan

Karena penulisan terbatas jumlah kata, maka tidak mungkin semua gagasan kita di atas ditulis. Maka, untuk jumlah kata yang ditentukan, kita batasi saja menjadi tiga pokok pikiran yang menurut kita paling baik dan menarik untuk kita bahas. Misalnya kita batasi pada permasalahan:

“Masalahnya ada di sekolah”: Lemahnya pengawasan sekolah, Nggak ada konsekuensi yang berat dari sekolah, dan Pendidikan moral di sekolah gagal

Langkah 6: Membuat kerangka tulisan dan Judul. 

Kerangka tulisan penting agar esei kita sistematis. Dengan sistematis maka orang akan dapat dengan mudah mengerti pendapat kita.

CONTOH MENULIS ARTIKEL

Bagian Pembuka: 

Mendeskripsikan masalah tawuran di Jakarta dengan cerita atau ilustrasi tentang akibat buruk dari tawuran pelajar.

Bagian Pembahasan:

Menjelaskan pendapat kita bahwa penyebabnya ada tiga yaitu, 

Lemahnya pengawasan sekolah: gambarkan atau jelaskan bagaimana lemahnya pengawasan sekolah, berilah contoh atau kisah nyata. Lalu, jelaskan pendapat kita mengenai hal itu.

Nggak ada konsekuensi yang berat dari sekolah: gambarkan atau jelaskan bagaimana konsekuensi tersebut tidak diterapkan di sekolah. Lalu, jelaskan pendapat kita mengenai hal itu.

Pendidikan moral di sekolah gagal: jelaskan dari sudut pandang kita bagaimana pendidikan moral di sekolah sudah gagal. Lalu, jelaskan pendapat kita mengenai hal itu.

Bagian penutup: 

Rangkumlah tiga pendapat kita itu dalam satu kalimat. 

Tulislah satu kalimat harapan atau ajakan mengenai peran sekolah dalam mencegah tawuran antar sekolah. Jika perlu, tambahkan satu kutipan peribahasa, kata-kata mutiara, atau kata-kata dari orang terkenal untuk menutup esei kita. Untuk esai yang bertujuan mengajak pembaca untuk memikirkan permasalahan, kita dapat mengakhirinya dengan pertanyaan retoris.

Langkah 7: Baca kembali esei kita apakah ada kesalahan ataukah kita perlu mengubah sistematika penulisan dan pertimbangkan apakah judul yang kita pilih sudah tepat.


Rabu, 05 Mei 2021

Bagaimana Agar Blended Learning Berkualitas

Blended learning menjadi pilihan dalam kenormalan baru akibat Pandemi Covid-19. Blended learning atau juga disebut sebagai hybrid learning ini memadukan antara pembelajaran jarak jauh dengan pembelajaran tatap muka. Namun, bisa juga dalam konteks kedua-duanya pembelajaran jarak jauh, antara jarak jauh online (dalam jaringan) dan jarak jauh tidak offline (luar jaringan). Jarak jauh online berarti siswa belajar melalui internet dan berinteraksi dengan gurunya pun melalui internet. Sedangkan jarak jauh offline siswa tidak menggunakan internet, melainkan mengambil dan mengirimkan tugas dari dan ke sekolah.

Mulai tahun pelajaran 2021-2022 kementrian pendidikan mewajibkan setiap sekolah untuk memberikan opsi tatap muka. Jadi, pembelajaran mulai Juli 2021 ada yang online dan ada pula yang tatap muka. Hal itu memunculkan beberapa permasalahan. Pertama, penjadwalan berkaitan dengan siapa saja dan kapan guru mengajar online dan offline. Apakah sekaligus akan online dan offline, ataukah bergantian? Kedua, materinya apakah yang online dan offline sama? Ketiga, adalah skenario tiba-tiba semua harus kembali online atau pembelajaran jarak jauh, dan sebagainya.

Bagaimana agar blended learning berkualitas? Berikut ini tips atau saran-sarannya.

1. Rencana Pelajaran Satu Tahun

Sekolah perlu memiliki rencana pelajaran satu tahun yang baik dan masuk akal dengan memperhatikan (a) Jumlah pertemuan, (b) durasi setiap pertemuan, (c) sarana prasarana yang dimiliki oleh siswa dan guru. Rencana pelajaran satu tahun tersebut perlu diketahui bersama antara guru, siswa, dan orangtua.

Rencana pelajaran tersebut perlu diketahui bersama oleh guru, siswa, dan orangtua dan dapat disajikan dalam LMS (Learning Management System) atau e-learning, tetapi dapat pula dalam bentuk PDF File atau print-out dan dibagikan kepada siswa dan orangtua.

2. Fokus Pada Keterampilan 4C

Banyak ahli pendidikan sepakat mengenai keterampilan 4C untuk menyiapkan anak di masa depan. Keterampilan 4C tersebut adalah collaborative, creative, communicative, dan critical thinking. Dengan kata lain, sekolah fokus pada mengembangkan kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam tim, berkreasi dengan apa yang mereka miliki, mampu berkomunikasi dengan baik (secara lisan, online, maupun tulisan), serta memiliki kemampuan berpikir kritis seperti mengemukakan pertanyaan dan membuat kesimpulan-kesimpulan.

3. Kembangkan Heutagogi

Heutagogi atau self-determined learning perlu dikembangkan di setiap tahap pendidikan. Heutagogi adalah mengenai bagaimana caranya agar anak memiliki tekad (bukan hanya keinginan) untuk belajar mandiri. Kemampuan anak-anak kita untuk belajar mandiri dan memiliki motivasi yang kuat akan membawa mereka menjadi pembelajar seumur hidup, kapanpun dan di manapun. Seperti apa yang dikatakan oleh Maria Montessori bahwa seorang guru yang berhasil adalah ketika siswa belajar pada saat gurunya tidak ada.

Jadi, meskipun para siswa berada di rumah dan tanpa pengawasan, mereka tetap memiliki keinginan yang kuat untuk belajar. Mereka perlu tahu mengapa mereka belajar, bagaimana, dan apa yang akan terjadi jika mereka belajar dengan baik.

Demikian tiga tips ini semoga sekolah-sekolah di Indonesia mampu menyajikan layanan pendidikan berkualitas dalam bentuk blended learning. (Penulis: Sigit Setyawan, S.S., M.Pd.)

Selasa, 27 April 2021

Inspirasi Ide Tema Graduasi TK dan PAUD

 Inspirasi dan ide tema-tema graduasi TK dan PAUD


1. Tema graduasi PAUD TK: Generasi gembira eksplorasi dunia.

Judul graduasi PAUD TK: "Be Happy, Be the Explorer", "Young Explorer", "Gembira dalam Belajar"


2. Tema graduasi PAUD TK :Siswa meraih impian dan cita-cita tanpa rasa takut.

Judul graduasi PAUD TK: "Joyful and Be Courage", "Little Stars are Ready", "Reach for the Stars", "Ayo Gapai Bintang"


3. Tema graduasi PAUD TK: Siswa menjadi bintang kecil yang belajar dengan penuh semangat.

Judul graduasi PAUD TK: "Little Stars", "Be Joyfull", "Aku Gembira"


4. Tema graduasi PAUD TK: Generasi masa depan yang penuh harapan.

Judul graduasi PAUD TK: "Ready for The Future", "Setinggi Langit, Cita-Citaku"


5. Tema graduasi PAUD TK: Lulusan TK yang memiliki masa depan gemilang.

Judul graduasi PAUD TK: "Shining Stars", "Shining Jewel", "Sinar Masa Depan", "Aku dan Masa Depan"


6. Tema graduasi PAUD TK: Menjadi siswa SD yang bersemangat untuk belajar.

Judul graduasi PAUD TK: "To be the best of me", "Maju Bersemangat"


7. Tema graduasi PAUD TK: Lulusan TK yang penuh prestasi

Judul graduasi PAUD TK: "Me and My Stars", "Generasi Gemilang", "Aku dan Anganku"


8. Tema graduasi PAUD TK: Tidak takut untuk mengejar cita-cita

Judul graduasi PAUD TK: "Reach for the Stars", "Aku Bisa!", "To be the best of me"


9. Tema graduasi PAUD TK: Lulusan TK menjadi anak berbakti dan bekerja keras.

Judul graduasi PAUD TK: "I Care, I Can", "Berbakti, Berkarya"


10. Menjadi siswa yang selalu belajar sepanjang hayat.

Judul graduasi PAUD TK: "Long-Life Leaner", "to Life, to Learn", "Berbudi dan Belajar" 

Sabtu, 24 April 2021

Metode Penilaian dalam Online Learning dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)

Penulis: Sigit Setyawan S.S, M.Pd.

Metode Penilaian dalam Online Learning dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Jika dalam pembelajaran tatap muka para siswa berada di dalam kelas dan guru mengawasi langsung jalannya tes atau ulangan, di dalam pembelajaran online guru tidak dapat mengawasi secara langsung para siswa.

Apabila siswa dilarang mencontek dan bekerja sama di dalam pembelajaran tatap muka, aturan itu cukup mudah diterapkan karena dalam pengawasan, tentu saja mencontek dan kerja sama itu adalah perkara sulit. Namun, melarang siswa mencontek dan bekerja sama di dalam tes online itu ibarat melarang siswa untuk basah pada saat ia kita minta untuk berenang. Mana mungkin tidak basah, padahal ia berenang di air? Mana mungkin kita melarang siswa mencontek atau mencari jawaban di internet, padahal dia sedang online di internet? Mana mugkin kita melarang siswa bekerja sama saat dia online dan terhubung dengan siapapun di seluruh dunia?

Maka, paradigma tes tatap muka dan tes online jelas sangat berbeda. Lantas, bagaimana metode terbaik untuk melakukan tes online? Berikut ini beberapa tipsnya.

1. Tes Kolaboratif

Alih-alih melarang siswa untuk bekerja sama, mintalah mereka untuk bekerja sama. Jadikan sebagai nilai kelompok. Dengan catatan, kelompok bekerja dalam waktu yang terbatas dan just-in time, yaitu saat diminta oleh guru.

Contoh: Guru memberikan soal nomor 1, guru meminta siswa menjawab pertanyaan pertama dalam waktu 10 menit. Siswa A, B, dan C, dalam 1 kelompok. Jika menggunakan zoom, guru menggunakan breakout room atau dapat pula minta mereka group video call.

Setelah waktu habis, guru memberikan pertanyaan nomor 2, guru mengubah komposisi kelompok. Lalu, kelompok menjawab pertanyaan kedua dalam waktu 10 menit berikutnya. Dan seterusnya.

2. Tes dengan Mencari Informasi di Internet

Alih-alih melarang siswa mencontek dari buku catatan, guru memberikan soal open book dengan meminta siswa mencari jawaban di internet.

Contoh: Guru memberikan 10 soal yang bisa dijawab dalam waktu 30 menit. Siswa wajib menjawab dengan menyertakan kutipan dan link dari mana jawaban tersebut didapatkan. Jenis pertanyaan yang diberikan oleh guru misalnya sebagai berikut. 1) Sebutkan pengertian "demokrasi" menurut 3 sumber yang berbeda. 2) Jelaskan, menurutmu mana yang terbaik dan mengapa kamu berpendapat demikian. Penjelasan kamu cukup walam 3 kalimat.

3. Tes Presentasi Online

Siswa wajib membuat presentasi online, tetapi just in time atau dalam waktu yang ditentukan oleh guru.

Contoh: a) Seluruh siswa online untuk menerima tugas membuat presentasi, b) Siswa membuat file presentasi selama 2 Jam pelajaran dan dikumpulkan melalui link yang ditentukan atau melalui email, c) Siswa merekam presentasi tersebut (tidak boleh diubah), dalam waktu 5 menit, d) rekaman dikumpulkan pada tanggal yang ditentukan.

4. Wawancara Lisan Langsung

Siswa memiliki jadwal wawancara dengan guru untuk tanya-jawab. Guru memberikan pertanyaan dan siswa menjawab langsung pada saat itu juga.

 Demikian empat contoh metode penilaian jarak jauh atau penilaian online dengan paradigma pembelajaran online atau jarak jauh.

Selasa, 20 April 2021

Inspirasi Tema dan Judul Graduasi SMA SMK

 Inspirasi tema dan judul graduasi SMA atau SMK


1. Tema graduasi SMA SMK: Siap melanjutkan ke perguruan tinggi dan menjadi mahasiswa terbaik.

Judul graduasi: "To Be The Best", "My Next Chapter", "Kisah Selanjutnya", "Kisah Masa Depan"


2. Tema graduasi SMA SMK:  Menjadi terang bagi dunia.

Judul graduasi: "Jadilah Terang Dunia", "Sinari Dunia", "Shine"


3. Tema graduasi SMA SMK:  Menjadi pribadi yang siap berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Judul graduasi:  "Transform the World", "Be the Change", "Aku Siap!"


4. Tema graduasi SMA SMK:  Pribadi yang telah diubah oleh pendidikan di SMA ini.

Judul graduasi:  "Transformed", "Transformer", "Ini Aku!", "Aku Yang Baru"


5. Tema graduasi SMA SMK:  Menjadi generasi muda yang berbakti kepada bangsa dan negara.

Judul graduasi:  "Patriot", "Patriot Bangsaku", "Be The Hero", "Aku Siap Bekerja".


6. Tema graduasi SMA SMK:  Siap untuk bekerja dan melayani orang lain.

Judul graduasi:  "Be Ready", "I Am Ready", "Siap Melayani", "Aku Siap, Aku Mantap"


7. Tema graduasi SMA SMK: Lulusan yang memiliki kepedulian pada sekitar dan berjuang untuk kemajuan masyarakat.

Judul graduasi:  "To Be The Best to Serve", "Aku untuk Masyarakatku"


8. Tema graduasi SMA SMK: Lulusan berprestasi dan bangga dengan almamater.

Judul graduasi: "Be Proud", "Proud and Ready", "Bangga dan Berprestasi"


9. Tema graduasi SMA SMK: Menjadi lulusan yang selalu membawa semangat dan motto sekolah almamaternya

Judul graduasi:  "It Is Me!", "To be the messenger of  mission", "Semangat bakti selamanya"


10. Tema graduasi SMA SMK: Lulusan yang tidak melupakan jasa para guru, orang tua, dan teman-teman.

Judul graduasi:  "I Am Yours", "Trully Awsome", "Berbakti Berbagi"

Pengertian Literasi dan Cara Meningkatkan Literasi

Apa itu literasi, bagaimana metode-metode literasi yang baik?

Literasi adalah kemampuan membaca, menulis, dan mengolah informasi atau pengetahuan untuk kecakapan hidup (lihat definisi KBBI Daring). Pada saat seseorang membaca, ia mengolah informasi dari apa yang dibacanya itu, lalu mengambil kesimpulan dan menyampaikannya kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis. Semakin tinggi tingkat literasinya, semakin tepat kesimpulan dan informasi yang diteruskan kepada orang lain tersebut. Semakin rendah tingkat literasinya, semakin "kacau" kesimpulannya, dan informasi yang disampaikan ke orang lain bisa salah atau melenceng dari aslinya.

Literasi bukan hanya bisa membaca saja, melainkan mampu memahami informasi yang dibacanya itu. Seseorang harus mampu mengidentifikasi kalimat utama dalam setiap paragraf, bahkan sampai dengan kata kuncinya. Lalu ia perlu untuk menggabungkan semua kata kunci itu dalam keseluruhan teks. Setelah itu, ia merangkum atau menyimpulkan maksud dari orang yang menulis atau menyampaikan informasi atau pendapat.

Literasi juga bukan hanya bisa menulis saja, melainkan mampu menyampaikan informasi melalui tulisannya itu sehingga orang lain memahami maksudnya. Selain menulis, orang dengan literasi tinggi akan mampu menyampaikan isi bacaan atau isi ceramah kepada orang lain melalui tuturan lisan.

Salah Paham Literasi

Ada banyak orang salah memahami literasi ini dan menyederhanakannya menjadi bisa membaca dan bisa menulis. Hal salah paham ini terjadi juga dalam institusi pendidikan. Misalnya, siswa di TK dipaksa untuk bisa membaca dan menulis demi untuk gengsi orang tua mereka. Padahal, yang terpenting bagi anak usia PAUD atau TK adalah memahami cerita dan memberikan respon terhadap cerita. 

Adalah Jean Piaget yang  mengemukakan teori bahwa di usia PAUD atau TK itu anak-anak masih dalam taraf kemampuan berpikir simbolik-imajinatif.  Sangat penting untuk menceritakan dongeng, imajinasi, dan berbagai kegiatan yang merangsang perkembangan otak anak. Bahkan, menurut Erik Erikson, pada masa PAUD dan TK itu anak-anak membutuhkan arahan untuk menyalurkan keinginan dan inisiatif mereka agar kelak anak-anak menjadi pribadi yang mandiri dan penuh inisiatif. Jika itu "dimatikan" oleh pemaksaan anak harus bisa menulis, maka anak akan beresiko menjadi anak yang tidak percaya diri dalam melakukan sesuatu.

Mempertimbangkan banyak hal, diantaranya pendapat kedua pakar tersebut, maka pemerintah Indonesia telah melarang pemaksaan pelajaran menulis atau calistung di tingkat TK melalui tiga peraturan:
1. Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 1839/C.C2/TU/2009:
2. PP No. 17/2010, Ps. 69 ayat 5: dan 
3. Permendikbud No. 51/2018.

Masalahnya, tetap saja banyak TK dan SD kelas 1 yang menuntut anak-anak sudah bisa membaca lancar dan sudah bisa menulis saat mereka berada di kelas 1 SD. Sungguh sangat disayangkan.

Cara Meningkatkan Literasi

Tingkat literasi Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara yang disurvey (tribunnews). Jika yang disurvey adalah masyarakat dewasa, maka dapat dikatakan bahwa itu adalah produk dari sistem sekolah atau kurikulum kita. Artinya, sekolahan kita saat ini gagal menciptakan generasi yang memiliki literasi yang baik.

Untuk memperbaiki hal itu, banyak sekolah telah melakukan upaya peningkatan literasi membaca para siswa. Namun, ada banyak sekolah yang kurang memahami maksud dari literasi sebagai memahami bacaan dan membagikannya kepada orang lain hasil bacaannya itu. Kebanyakan kegiatan "literasi" adalah membaca buku bersama-sama dalam waktu tertentu. Masalah memahami apa yang dibaca atau tidak, kurang menjadi perhatian. Hal itu harus diubah oleh sekolah. Kegiatan literasi harusnya sampai dengan memahami isi bacaan dan membagikannya kepada orang lain. 

Contohnya adalah sebagai berikut.
1. Siswa TK mendengarkan dongeng, lalu menceritakan kembali atau mengemukakan pendapatnya tentang dongeng tersebut. 
2. Siswa SD membaca cerita, lalu menceritakan kembali cerita atau mengubahnya menjadi drama atau cergam.
3. Siswa SMP-SMA membaca buku, lalu sharing isi buku tersebut kepada orang lain dan memberikan pendapat pribadinya.

Demikian beberapa contohnya. Jadi, literasi adalah mengenai mamahami bacaan dan menyampaikannya kepada orang lain. (Penulis: Sigit Setyawan,S.S., M.Pd.)


Kamis, 15 April 2021

4 Prinsip Berlian dalam Classroom Management oleh Sigit Setyawan

Poster 4 prinsip berlian dalam classroom management oleh Sigit Setyawan dapat diunduh download di sini.

Link unduh 1 download poster 4 prinsip berlian ukuran A4 21,0 x 29,7 centimeter

Link unduh 1 download poster 4 prinsip berlian ukuran A3 29,7 x 42,0 centimeter

Link unduh 1 download poster 4 prinsip berlian ukuran A2 42,0 x 59,4 centimeter.

Kualitas pembelajaran ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelola kelasnya. Guru yang hebat hampir selalu dikaitkan dengan classroom management yang baik. Sebaliknya, guru yang kurang cakap dalam mengajar sering dinilai dari classroom management yang kurang baik.

Buku ini memberikan tips praktis langkah demi langkah yang disebut dengan 4 Prinsip Berlian dalam classroom management. Keempat prinsip tersebut dapat langsung diterapkan oleh para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

 

Buku ini juga dilengkapi dengan contoh-contoh praktis bagaimana mengelola kelas dan indikator-indikator untuk mengevaluasi apakah saat ini pembelajaran sudah dikelola dengan baik?

BEBERAPA AKTIVITAS PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MINECRAFT FOR EDUCATION SEBAGAI METAVERSE

(Sigit Setyawan, S.S., M.Pd  -  sigitsetyawan.com ) Berikut ini adalah beberapa aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dan si...