Selasa, 22 Juni 2021

Mengapa Anak Gagal dalam Pelajaran? Ini Jawabannya!



Mengapa anak gagal dalam pelajaran dapat dijawab melalui serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Thorndike di sekitar tahun 1930 yang masih relevan di era internet saat ini.

Pertama, karena anak tidak merasa memiliki. Thorndike menyebutnya sebagai belongingness. Jika anak merasa tidak butuh dengan pelajarannya, tidak mau ikut, atau merasa tidak ada koneksi antara apa yang dipelajari dengan kebutuhan dirinya, maka anak akan gagal dalam belajar. Demikian pula orang dewasa, jika dipaksa melakukan sesuatu yang menurutnya tidak dibutuhkan, maka akan sia-sia saja pelatihan yang diberikan kepadanya.

Kesalahan para orang tua dan guru adalah memaksa anak dalam belajar, ikut les, atau kursus-kursus. Padahal, si anak tidak mau. Dari penelitian yang dilakukan pada waktu itu, tidak adanya rasa "butuh" itu membuat tidak adanya koneksi antara pelajaran yang diberikan dengan anak atau peserta didik, maka pelajaran akan gagal.

Kedua, karena anak tidak siap. Thorndike meyebutnya sebagai law of readiness atau hukum kesiapan. Ini sangat mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Piaget tentang langkah pertama dalam pembelajaran adalah siap untuk belajar. Ada banyak hal yang perlu disiapkan agar anak (atau bahkan diri kita) siap dalam belajar, antara lain siap mental, siap nalar, siap fisik, dan siap sarana prasarana.

Kesiapan mental tergantung dari diri masing-masing, apakah memang tahu kapan dan untuk apa ada di dalam sebuah kelas. Kesiapan nalar tergantung dari pengetahuan prasyarat yang dimiliki, tergantung pula dari apakah guru memberikan materi yang sesuai dengan usianya. Siap fisik tergantung dari apakah kondisi sedang sehat ataukah sakit. Juga, apakah kita memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan agar saat belajar itu nyaman rasanya.

Ketiga, karena anak tidak mendapat efek apa-apa setelah belajar. Thorndike menyebutnya sebagai law of effect. Kalau setelah belajar anak tidak mendapatkan sesuatu yang berarti, misalnya pengetahuan, keterampilan, atau pujian, maka anak tidak mau belajar. Bukan hanya anak-anak, orang dewasa pun demikian. Kita sering mengalami betapa malasnya mengikuti seminar atau pelatihan karena tidak ada efek apapun setelah seminar atau pelatihan itu dilaksanakan.

Thorndike menemukan bahwa ternyata "hukuman" tidak efektif membuat peserta didik itu mau belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Dalam revisinya terhadap teorinya pasca 1930an itu, Thorndike mengatakan bahwa efek hukuman ternyata tidak meningkatkan semangat belajar. Lalu apa yang meningkatkan semangat belajar? Yang meningkatkan semangat belajar adalah "pujian" atau reward atau disebut juga sebagai penguatan positif. Jadi, jika seseorang itu mencapai tingkat pembelajaran tertentu "hadiahnya" apa itulah yang ternyata memberikan efek baik terhadap sikap belajar. Nah, itu yang dicari oleh setiap orang pada saat mengikuti pelajaran atau pelatihan, nanti dapat apa setelah pelatihan.

Jadi, kita sebagai orang tua, guru, atau pemimpin lembaga, pada saat meminta seseorang untuk ikut dalam pelajaran, seminar, atau pelatihan, perlu untuk memperhatikan riset Thorndike tersebut. Belongingness, law of readiness, dan law of effect menjadi tiga kata kunci yang dapat kita gunakan agar setiap peserta didik berhasil dalam pembelajarannya. Ketiga hal itu pula yang menjadikan peserta didik mengalami kegagalan, setidak-tidaknya menurut riset Thorndike. (Sigit Setyawan, M.Pd.)

Picture: pixabay.com

Minggu, 13 Juni 2021

Melatih Kemandirian Belajar Anak



Di masa pandemi Covid-19, anak-anak kita harus belajar secara online, jarak jauh, atau tatap muka tetapi sangat terbatas. Sebagai orang tua, kita tidak selalu dapat mendampingi mereka secara penuh. Sementara itu, para guru juga tidak dapat mendampingi penuh seperti ketika di dalam kelas.

Dulu, sebelum masa pandemi, para orang tua mengantar anak ke sekolah, lalu selama hampir sehari penuh berada di sekolah bersama dengan guru dan teman-teman. Namun, ketika belajar dari rumah anak-anak kita terpaksa harus berproses sendiri. Sayangnya, tidak semua anak siap dengan kemandirian belajar, motivasi, atau keterampilan belajar.

Kemandirian anak tidak bisa muncul tiba-tiba atau orang tua menuntut anak untuk mandiri. Kemandirian perlu dilatih setahap demi setahap. Mula-mula orang tua membantu penuh, lalu mendampingi, kemudian mengawasi. Setelah itu, orang tua hanya perlu mengecek secara berkala. Oleh Vygotsky, hal itu disebut sebagai "scaffolding" yaitu tahapan bantuan orang dewasa. Layaknya sebuah bangunan, scaffolding itu menjadi penopang kemudian jika sudah siap penopang tersebut dilepas pelan-pelan.

Berikut ini adalah beberapa contoh kemandirian anak setahap demi setahap.

a. Usia Taman Kanak-Kanak

Di bangku Taman Kanak-Kanak yang dimaksud dengan kemandirian belajar adalah tentang sikap dan keterampilan dasar. Misalnya membereskan mainan, merapikan kamar atau tempat bermain, membersihkan kotoran akibat dari kegiatannya di rumah. Dalam kegiatan pembelajaran, tentu saja keterlibatan orang tua sangat penting. Para guru TK mungkin memberikan berbagai aktivitas yang dikomunikasikan kepada orang tua. Orang tua adalah "guru" yang menjadi mentor bagi anak-anak di rumah. Namun, hanya sebatas membantu dan menemani saat beraktivitas dan melaporkan kepada guru. Sementara itu, yang mendesain pembelajaran, mempersiapkan, menyampaikan, dan mengevaluasi hasil belajar tetaplah para guru.

b. Usia Sekolah Dasar 1-3 (7 - 10 tahun)

Pada saat anak di bangku SD kelas 1, yang dimaksud dengan kemandirian adalah kesadaran anak-anak untuk mempersiapkan buku-buku pelajaran. Orang tua perlu mengajak anak-anak untuk mempersiapkan buku apa saja yang dibutuhkan esok hari. Tentu saja pada awalnya orang tua yang memililh dan memasukkan buku-buku, alat tulis, dan lainnya yang dibutuhkan ke dalam tas. Namun, pelan-pelan anak perlu menata sendiri di dalam tas. Dan saat sudah membaca dengan lancar, anak-anak ditemani untuk memasukkan buku ke dalam tas. Memasuki semester kedua di kelas satu, anak-anak perlu diberi tugas untuk mempersiapkan buku pelajaran dan orang tua mengecek apakah sudah benar atau belum.

Di kelas dua, orang tua perlu memberikan jadwal belajar. Belajar diartikan sebagai membaca buku pelajaran atau mengerjakan PR. Namun, saat tidak ada PR atau tugas, orang tua dapat memberikan bacaan seperti novel atau cerita pendek, atau memberi soal matematika sederhana.

Di kelas tiga, orang tua perlu mengajak anak untuk mempertahankan kebiasaan belajar. Kebiasaan dan cara belajar anak mulai terbentuk. Setiap anak akan memiliki gaya belajarnya sendiri-sendiri. Misalnya, anak kinestetik akan cenderung berjalan-jalan, bergerak, ke sana ke mari sambil belajar. Anak musikal akan sambil bernyanyi, bahkan menyanyikan apa yang dia baca. Anak yang interpersonalnya kuat, akan cenderung memilih tempat sepi dalam belajar, dan sebagainya.

c. Usia Sekolah Dasar 4-6 (10 - 13 tahun)

Memasuki usia pra remaja, anak-anak perlu diajak untuk membuat jadwal belajar dan kegiatan. Persetujuan orang tua dibutuhkan, tetapi anak perlu berproses bersama untuk membuat jadwal itu. Orang tua perlu sering mengecek, memastikan, dan mengingatkan berulang-ulang atau disebut sebagai proses mentoring belajar. 

Pada saat jam belajar, orang tua perlu bertanya kepada anak misalnya, "Coba ceritakan ke mama, tadi kamu belajar apa?" dan pada saat ia menjelaskan, ia memperkuat apa yang dipelajarinya itu.

d. Usia SMP

Memasuki SMP, anak-anak sudah masuk ke usia remaja. Jika di SD proses pembuatan jadwal belajar ditentukan bersama orang tua, kini anak-anak diminta untuk menyerahkan proposal jadwal belajarnya kepada orang tua. Orang tua menjadi orang yang menyetujui dan memberi masukan perbaikan jadwal jika dirasakan kurang tepat. Misalnya:

Kapan belajar?

Kapan main game?

Kapan nonton youtube?

Semua masuk ke dalam "proposal jadwal" anak remaja kita kepada orang tua. Orang tua perlu mengecek apakah dilaksanakan atau tidak. Jika tidak dilakukan, orang tua perlu untuk berdiskusi memperbaiki jadwal dan sepakat akan konsekuensi jika terjadi pelanggaran disengaja oleh anak.

e. Usia SMA

Memasuki usia SMA tentu saja kemandirian dalam belajar bukan menjadi masalah serius untuk pada umumnya anak. Namun, di usia ini orang tua perlu mengecek secara berkala, misalnya, "Kamu ada tes? Udah belajar?"

Tentu saja, jika sejak SD kelas 1 sudah terbiasa dengan jadwal belajar, pada usia SMA orang tua sudah tidak perlu lagi meminta anak untuk membuat jadwal. Semestinya, anak otomatis merasa membutuhkan jadwal. Jika tidak membuat jadwa, orang tua dapat memintanya, "Kamu jadwal belajar jam berapa aja?"

Nah, demikianlah, kemandirian dalam belajar itu perlu dibangun sejak dini. Nantinya saat anak-anak memasuki dunia universitas, kemandirian dan tanggung jawab itu telah terbangun secara lebih kokoh. Bandingkan dengan jika sejak kecil apa-apa dikerjakan oleh orang tua. Bahkan, misalnya, sampai di SMA pun orang tua masih banyak ikut campur. Artinya, scaffolding menurut Vygotsky di atas tidak pernah dilepas. Saat anak kita memasuki universitas, tiba-tiba saja penopang itu hilang dan kebiasaan dibantu itu akan membuat kemampuan belajarnya runtuh.

(Sigit Setyawan).

Sumber gambar: pixabay.com

Selasa, 01 Juni 2021

Contoh Rubrik Penilaian

 


Para guru mungkin sering kesulitan membuat dan menentukan rubrik penilaian yang sesuai dengan kebutuhan penilaian yang tepat. Beberapa website memudahkan kita untuk memahami apa itu rubrik, manfaat, dan bahkan cara pembuatannya. Misalnya link berikut ini https://binus.ac.id/knowledge/2019/12/rubric-assessment-manfaatnya-dalam-proses-penilaian/ yang sangat membantu kita. Namun demikian, bagi beberapa guru mungkin perlu contoh yang benar-benar dapat langsung digunakan.

Berikut ini adalah tiga contoh rubrik penilaian yang dapat digunakan oleh para guru.

Contoh dalam bentuk PDF

Dalam contoh tersebut ada tiga model Rubrik Penilaian yang dapat digunakan oleh para guru. Yang terpenting dalam penggunaan rubrik adalah

1. Siswa mengetahui terlebih dahulu apa saja yang akan dinilai oleh guru pada saat mengerjakan tugas.

2. Setelah selesai penilaian, guru membagikan nilai kepada siswa dan menjelaskan mengapa nilai siswa adalah seperti yang didapatkan.

Melalui rubrik penilaian, para siswa dapat mengetahui dengan jelas apa yang perlu ditingkatkan dan apa yang sudah dikuasainya dengan baik.


Gambar diambil dari Pixabay.com

BEBERAPA AKTIVITAS PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MINECRAFT FOR EDUCATION SEBAGAI METAVERSE

(Sigit Setyawan, S.S., M.Pd  -  sigitsetyawan.com ) Berikut ini adalah beberapa aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru dan si...